Sumarti, warga Jalan Muara Baru/ Marlina RT 09 RW 017, Jakarta Utara, mengeluh sulit mendapatkan air sejak 2001. Kalaupun air yang dikelola PT Palyja mengalir ke rumahnya, air itu bau. Akhirnya, setiap hari Sumarti terpaksa mengeluarkan uang Rp 11.000 untuk membeli air bersih pikulan.
Dulu waktu dikelola PAM Jaya air mengalir lancar, tetapi sekarang tidak lagi lancar. Kini dari pagi sampai siang saya harus mencegat penjual air di pinggir jalan, tetapi tagihan jalan terus. Saya ditagih total Rp2,85 juta dari tahun 2003-2009, keluhnya.
Hal sama disampaikan Marsiana, tetangga Sumarti. Kesulitan mendapat air bersih membuatnya pusing. "Janganlah orang miskin selalu ditindas hak-haknya. Kami sangat kecewa. Air itu penting sekali buat kami," ujarnya.
Supriatna, warga Mangga Besar XIII, Kelurahan Mangga Besar, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat, mengatakan, air rumahnya hanya mengalir pada pukul 02.00-04.00. Air yang ia tampung dini hari itu untuk mandi dan minum, sedangkan mencuci pakaian dan peralatan dapur dengan air tanah."Kadang air itu tidak cucup. Saya terpaksa beli air gerobak. Satu jeriken 20 liter Rp 1000. Biasanya saya beli enam jeriken setiap hari," katanya.
Unek-unek yang disampain Sumarti, Mersiana dan Supriatna adalah keluhan warga yang memimpikan air murah dan mudah diakses. Air adalah unsur terpenting dan menjadi prasyarat utama untuk mendapatkan sanitasi sehat.
Fakta dan kondisi di lapangan menunjukkan, penyediaan sarana-prasarana sanitasi yang memenuhi persyaratan di Indonesia sampai kini belum terpenuhi secara optimal. Saat ini lebih 100 juta penduduk yang tersebar di 30.000 desa kesulitan mengakses fasilitas sanitasi dasar.
Salah satunya seperti di sepanjang aliran Kali Brantas, Jawa Timur, dan Ciliwung, Jakarta, dimana sebagaian besar masyarakat yang tinggal di sekitar sungai masih buang air besar dan buang limbah rumah tangganya ke sungai.
Berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional 2005, Indonesia menduduki posisi ke enam di Asia Tenggara soal sanitasi. Dari 206 juta penduduk Indonesia tahun 2005, baru 55,43 persen terlayani fasilitas sanitasi. Sementara Singapura sudah 100 persen, Thailand 96 persen, Filipina 83,06 persen, Malaysia 74,70 persen, Myanmar 64,48 persen dan baru disusul Indonesia.
Untuk mengatasi itu, berbagai upaya dilakukan pemerintah, diantaranya melelui program pembangunan air minum dan sanitasi seperti Water Supply and Sanitation for Low Income Communities (WSLIC), Comprehensive-Kampong Improvement Programme (C-KIP), dan Improvement Programme for Water Supply and Sanitation (SANIMAS).
Bappenas menargetkan 10 juta sambungan air bersih tercapai pada 2013. Dana yang dibutuhkan Rp 80 triliun. Saat ini baru terealisasi tujuh Juta sambungan. "Untuk target Tujuan Pembangunan Milenium (MDG's) tahun 2015 butuh Rp 95 triliun. Uangnya harus kita cari," kata Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas Budi Hidayat.
Berdasarkan data Departemen Pekerjaan Umum, cakupan pelayanan air minum melalui perpipaan di kota besar 45 persen, di desa 10 persen dan secara nasional baru 24 persen. Biasanya masyarakat mendapat air dari sumur bor yang tercemar karena lingkungan perymahan padat atau membeli air gerobak/jeriken yang mahal.
Masyarakat yang berpenghasilan rendah kini justru membayar air minum 10 kali lipat dari harga rata-rata. Anggota Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI, Dr Riant Nugroho, mengatakan, "Romantisme dari para pengawas, tarif air harus sanagat murah. Tarif air ditetapkan sekitar Rp 1000, tetapi itu tak ada. Masayarakat terpaksa beli air gerobak Rp 30.000 per meter kubik. Itu diatas harga tertinggi Rp 12.000. Jadi, orang miskin membayar air lebih mahal."
Untuk mempermudah akses air bersih dan agar warga berpenghasilan tidak membayar air lebih mahal, maka pemerintah membangun sambungan komunal.
Melalui sambungan komunal, air bersih untuk masyarakat berpenghasilan rendah tidak hanya menjadi mungkin, tetapi juga lebih murah, terjaga kualitasnya serta menghemat waktu karena akses yang dekat dan mudah.
Tak hanya itu, Environtmental Service Program USAID mempertemukan PDAM dengan BRI yang akhirnya melahirkan kebijakan kredit mikro sambunagn air bersih untuk warga berpenghasilan rendah, seperti di Medan, Sumut, dan Sidoarjo, Jatim.
Kelompok Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pkja AMPL) mengingatkan dari laporan MDG's tahun 2007, baru 56 persen warga mendapat pelayanan air minum, sementara sisanya 44 persen-sekitar 100 juta belum terlayani.
Pelaksana Pokja AMPL Oswar Mungkasa menyatakan, yang dimaksud adalah air minum, bukan air bersih. "Kalau tetap meyebut air bersih, kiat tidak akan pernah mencapai kualitas air minum. Semua air dari PDAM harus berkualitas air minum," katanya. Sampai kapan warga harus menanti ?
Sumber harian KOMPAS, Jumat 20 Maret 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar