Rabu, 28 April 2010

PERBURUAN AIR DI GUNUNGKIDUL


Oleh : Zaki Habibi

Sungai menderas di utara. Di selatan, air melaju nun jauh di bawah tanah. Di atasnya hiduplah masyarakat yang berburu air sepanjang tahun.

Di suatu pagi yang temaram, sekelompok lelaki tanah kapur berjalan beriringan memasuki sebuah mulut gua. Beberapa memanggul jeriken plastik atau kaleng. Yang lainnya menggenggam erat obor yang menyala. Mereka hendak memburu air. Di dalam kegelapan relung-relung perut bumi yang lembab, obor adalah pelita, juga menanda cukup tidaknya udara segar. Bila dian telah padam, berarti oksigen telah menipis dalam ruang yang mereka pijak dan itu artinya mereka harus berbalik pulang ke rumah dengan atau tanpa air. Keseharian manusia tanah kapur Gunungkidul memang penuh dengan perjuangan mencari air bagi kehidupan sehari-hari sejak dulu.

Tanah Gunungkidul selatan yang gamping memaksa warga memeras keringat demi air bersih. Di wilayah tersebut, Tanah tak pernah membiarkan air hujan lama menggenang. Air hanya mengalir di perut bumi dan bisa ditemukan dengan menuruni lorong-lorong gua. “Ada yang cukup ditelusuri dengan jalan kaki melalui gua horisontal dan tidak terlalu dalam. Ada yang terletak di kedalaman 100 meter lebih dari permukaan luweng atau liang vertikal,” papar Sintia Windhi, ahli Geofisika Universitas Gajah Mada yang juga seorang penelusur gua.

Gunungkidul selatan merupakan kawasan perbukitan karst, bagian dari Pegunungan Karst Gunungsewu yang membujur di selatan Jawa. Menurut Sintia, dahulu wilayah selatan Gunungkidul adalah dasar laut yang kedalamannya berkisar hingga 200 meter. Butuh proses yang memakan waktu 15 juta tahun bagi dasar laut yang dipenuhi terumbu karang itu untuk terangkat ke atas laut, menjadi batu, tenggelam kembali di bawah permukaan air (pada masa ini terumbu karang tumbuh kembali), kemudian terangkat kembali ke permukaan sehingga kini akhirnya didiami oleh penduduk. Alhasil, kawasan Gunungkidul selatan tersusun atas lapisan karang yang terbatukan menjadi gamping.

Ahli hidrologi karst UGM Tjahyo Nugroho Adji menambahkan, epikarst (bagian paling atas dari wilayah karst, berupa bukit berbentuk kerucut) memiliki fungsi paling vital dalam penyediaan air. Lapisan yang memiliki ketebalan maksimal lima meter itu terbentuk dari gamping yang lapuk dan terlarut jadi lapisan tanah. Inilah bagian terbesar yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan air hujan yang jatuh dikawasan Gunungkidul selatan.

“Namun, air yang ada di lapisan ini tidak bisa diambil karena masih tercampur dengan udara dan tanah. Air baru bisa digunakan jika sudah mengalir menjadi sungai bawah tanah. Jadi jika kawasan epikarst tidak dikonservasi, maka debit air di sungai bawah tanah berkurang pula,” paparnya.

Nasib sejarah bumi itulah yang membuat Gunungkidul selatan tidak seelok Gunungkidul utara yang berupa perbukitan tanah vulkanis tua, dikenal sebagai daerah Perbukitan Baturagung. Daerah ini memiliki sifat tanah yang tipis dengan batuan yang beku, keras dan sulit menyimpan air. Saat tercurah dari langit, airpun akan langsung mengalir membentuk sungai dibagian permukaan lanskap tanahnya.

Sehingga, meski terletak jauh dari sungai, warga di sejumlah pedusunan masih tetap bisa mengalirkan air kali dengan pipa-pipa bambu atau PVC yang sambung menyambung hingga sepanjang 2,5 kilometer. Praktik itu misalnya dapat dilihat di dusun Ngamplar, Kecamatan Patuk, Gunungkidul utara.

Tetangga di wilayah Gunungkidul tengah juga memiliki nasib lebih baik Pada zaman Miosen, saat wilayah selatan terangkat, bagian tengah mengalami tekanan hingga membentuk cekungan. Saat itu, sungai bawah tanah di wilayah selatan belum terbentuk sehingga aliran air dari pegunungan karst di bagian timur dan timur laut mengalir ke cekungan ini sambil membawa rombakan batuan gamping dan mengendapkannya. Lama kelamaan endapan berubah menjadi tanah tebal sehingga cekungan itu menjadi pusat kehidupan yang kaya air.

Hingga kini, masyarakat di wilayah Gunungkidul tengah mampu menemukan air melimpah dari sumur dangkal berkedalaman 5 hingga 12 meter yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga untuk bercocok tanam sepanjang tahun.

Di selatan saat musim penghujan, masyarakat berusaha memanen hujan dengan menggunakan bak penampungan. Saat kemarau mendera, berbagai bentuk perburuan air pun dimulai. Dengan berjalan kaki ataupun bersepeda motor, warga tanah kapur akan pergi mencari gua tempat mengalirnya sungai-sungai bawah tanah, sumur dalam yang masih basah, atau kubangan yang tetap menyisakan air.

Beruntung, sebagian dari mereka—terutama di permukiman yang teramat jauh dari sumber air—kini dapat mengandalkan truk-truk tangki bantuan pemerintah atau organisasi nirlaba yang berkunjung ke permukiman mereka. Hanya saja, warga tetap harus merogoh kantong sebanyak 20 rupiah untuk seliter air, sementara kebutuhan rata-rata satu keluarga sepanjang musim kemarau adalah sekitar 5.000 liter. Itulah masa perjuangan bagi warga yang mayoritas petani dan hanya bisa membuat gaplek ketela seharga 800 rupiah per kilogram di musim kemarau.

Saat kemarau, sesungguhnya air dapat ditemukan di sejumlah telaga, yaitu cekungan di kawasan karst yang mampu menyimpan air hujan dalam waktu relatif lama. Menurut ahli hidrologi karst UGM Tjahyo Nugroho Adji, dasar telaga di kawasan karst Gunungkidul selalu memiliki ponor (sink hole) atau liang yang terhubung dengan sistem aliran sungai bawah tanah. Telaga-telaga itu selalu menyediakan air karena terdapat lapisan lempung di atas ponor. “Lempung membuat air tetap tertahan di telaga,” tutur Tjahyo.
Kurun 1970-an dan 1980-an, warga sempat menyaksikan beberapa telaga kehidupan mereka terancam kerontang. Para peneliti mengisahkan, saat itu pemerintah berinisiatif mengeruk dasar telaga dan melapis dinding telaga dengan semen dengan harapan, air di dalam akan semakin banyak. Celaka, air di telaga-telaga tersebut justru terus menyusut dan mengering. Rupanya, pengerukan membuat lapisan lempung yang menahan air di permukaan ikut terbuang sehingga, berapapun air hujan yang tertampung akan langsung tersedot ke dalam tanah.

Kini, harapan besar terhadap teknologi terletak pada proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Bribin II yang melibatkan berbagai pihak dari Indonesia dan Jerman. Proyek yang dimulai oleh Universitas Karlsruhe Jerman itu memanfaatkan aliran sungai bawah Luweng Sindon di Bribin. Di kedalaman 104 meter, sebuah bendungan dibangun untuk menghasilkan energi listrik yang kemudian dimanfaatkan untuk memompa air tanah ke atas permukaan.

Meski harapan besar ditumpukan, teknologi Bribin II ternyata bukanlah solusi tunggal. Pasalnya, satu proyek tak bisa menjawab persoalan distribusi air bagi seluruh warga Gunungkidul yang jumlahnya 685.210 jiwa dan tersebar di wilayah seluas 1.485,36 kilometer persegi. “Bribin II adalah upaya pertama di dunia yang memanfaatkan teknologi mikrohidro di sungai bawah tanah. Sebagai sebuah riset ini sangat bagus,” jelas Tjahyo.
Tjahyo dan Sintia berhitung, sejatinya Gunungkidul memiliki potensi air nan berlimpah di musim hujan dan musim kemarau. “Sumber utama berasal dari hujan dan curah hujan di Gunungkidul tergolong tinggi. Jadi, air sebenarnya sangat memadai,” imbuh Tjahyo. Namun, air berlimpah yang selalu disimpan dalam perut Bumi itu hingga kini terus memaksa warga berpeluh dalam mengambilnya.


Disalin dari Majalah National Geograpic Indonesia edisi April 2010

Senin, 01 Maret 2010

PETE WENTZ DUTA AIR



Pete Wentz (30) bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk bekerja membangun kesadaran akan pentingnya penyediaan air minum yang layak bagi anak-anak di seluruh dunia. Roker, yang juga ayah seorang anak ini, dipilih sebagai juru bicara nasional untuk ”2010 Unicef Tap Project”, kampanye yang mendorong orang-orang untuk berdonasi minimal 1 dollar AS selama World Water Week, 21-27 Maret. Uang hasil penggalangan dana akan diserahkan kepada yayasan air Unicef.
Wentz tak bisa menyembunyikan rasa bangganya. ”Ini sungguh sebuah kehormatan. Menjadi juru bicara nasional untuk Tap Project dan mendukung upaya penyediaan air bersih bagi anak-anak di negara dunia ketiga,” ujar Wentz yang pernah muncul di serial televisi CSI ini.
”Air terkadang dianggap sebagai hal biasa bagi kami warga Amerika. Kenyataannya, kekurangan air bersih dan minimnya akses air minum telah membunuh 4.100 anak di bawah usia lima tahun setiap hari. Sebagai seorang ayah, aku menjadi sangat peduli terhadap kebutuhan anak-anak,” kata Wentz.
”Sebaliknya, pada saat-saat darurat, seperti saat gempa Haiti, air bersih menjadi hal yang sangat penting,” kata Wentz yang menikah dengan penyanyi Ashlee Simpson dan memiliki seorang anak laki-laki, Bronx. (CONTACTMUSIC.COM/DOE)



Sumber : Kompas, Senin 01 Maret 2010

Minggu, 28 Februari 2010

KUALITAS AIR SUNGAI MUSI BURUK


Tingkat pencemaran di Sungai Musi meningkat akibat aktivitas industri dan limbah rumah tangga. Unsur pencemar tertinggi, seperti fenol, besi, dan fosfat, sudah melebihi nilai ambang batas sehingga berpotensi mengancam organisme sungai.

Menurut Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Kota Palembang Novrian Fadillah, Rabu (3/2) di Palembang, Sumatera Selatan, pihaknya baru melaksanakan penelitian dan uji contoh air di sejumlah titik di Sungai Musi yang mengalir di sepanjang Kota Palembang.

”Ada 22 unsur parameter bahan baku yang diteliti. Ada 10 parameter yang meningkat secara signifikan. Jika tak dikendalikan, hal itu bisa mengancam organisme Sungai Musi dan semua anak sungainya,” katanya.

Lima parameter pencemar kimia yang tergolong tinggi adalah besi, fenol, fosfat, chemical oxygen demand (COD), dan biological oxygen demand (BOD). Semua itu merupakan parameter utama untuk melihat apakah kadar pencemar di suatu tempat sudah berbahaya atau tidak bagi organisme dan mikroorganisme. Adapun derajat keasaman (pH) sungai mencapai 6-9.

Menurut Novrian, tahun ini tingkat pencemaran naik 10 persen karena angka baku mutu menjadi 10 miligram per liter. Untuk besi, fosfat, dan fenol, nilai ambang baku mutu masing-masing 0,3 miligram per liter.

Penyebabnya, kata Novrian, fosfat berasal dari limbah detergen, adapun fenol adalah zat kimia yang kerap dipakai dalam aktivitas industri. Di Palembang, fenol digunakan untuk menghilangkan karat pada kapal. ”Fenol paling berbahaya bagi manusia. Karena itu, perlu menjadi perhatian semua pihak,” katanya.

Kondisi ini tidak hanya memengaruhi ekosistem di Sungai Musi, tetapi juga berdampak ke anak-anak sungainya. Beberapa anak sungai di Kota Palembang yang berisiko tercemar adalah Sungai Bendung, Aur, Sekanak, dan Ogan.

Selain industri, Novrian menambahkan, limbah rumah tangga juga menjadi pencemar dominan. Penyebabnya, masih banyak warga yang beraktivitas di sungai, seperti mandi dan mencuci.

Pemerintah bisa memelopori upaya preventif terhadap masalah ini. Misalnya, membangun instalasi limbah skala rumah tangga. Ini sudah dilakukan sejumlah pemerintah daerah, salah satunya Kota Yogyakarta di Daerah Aliran Sungai Code. (ONI)

Sumber : Kompas, 4 Februari 2010

Minggu, 31 Januari 2010

AIR TANAH


Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau bebatuan di bawah permukaan tanah. Air tanah merupakan salah satu sumber daya air yang keberadaannya terbatas dan kerusakannya dapat mengakibatkan dampak yang luas serta pemulihannya sulit dilakukan.
Selain air sungai dan air hujan, air tanah juga mempunyai peranan yang sangat penting terutama dalam menjaga keseimbangan dan ketersediaan bahan baku air untuk kepentingan rumah tangga (domestik) maupun untuk kepentingan industri. Dibeberapa daerah, ketergantungan pasokan air bersih dan air tanah telah mencapai ± 70%.


Kerusakan sumber daya air tidak dapat dipisahkan dari kerusakan di sekitarnya seperti kerusakan lahan, vegetasi dan tekanan penduduk. Ketiga hal tersebut saling berkaitan dalam mempengaruhi ketersediaan sumber air.
Kondisi tersebut diatas tentu saja perlu dicermati secara dini, agar tidak menimbulkan kerusakan air tanah di kawasan sekitarnya. Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya permasalahan adalah:
Pertumbuhan industri yang pesat di suatu kawasan disertai dengan pertumbuhan pemukiman penduduk akan menimbulkan kecenderungan kenaikan permintaan air tanah.
Pemakaian air beragam sehingga berbeda dalam kepentingan, maksud serta cara memperoleh sumber air.
Perlu perubahan sikap sebagian besar masyarakat yang cenderung boros dalam pengggunaan air serta melalaikan unsur konservasi.


Adanya krisis air akibat kerusakan lingkungan, perlu suatu upaya untuk menjaga keberadaan/ketersediaan sumber daya air tanah salah satunya dengan memiliki suatu sistem monitoring penggunaan air tanah yang dapat divisualisasikan dalam data spasial dan atributnya. Dalam Undang-undang Sumber Daya Air, daerah aliran air tanah disebut Cekungan Air Tanah (CAT) yang didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbunan, pengaliran dan pelepasan air tanah berlangsung.
Menurut Danaryanto, dkk. (2004), CAT di Indonesia secara umum dibedakan menjadi dua buah yaitu CAT bebas (unconfined aquifer) dan CAT tertekan (confined aquifer). CAT ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan total besarnya potensi masing-masing CAT adalah :
CAT Bebas : Potensi 1.165.971 juta m³/tahun
CAT Tertekan : Potensi 35.325 juta m³/tahun
Elemen CAT adalah semua air yang terdapat di bawah permukaan tanah, jadi seakan-akan merupakan kebalikan dari air permukaan.


Lapisan di dalam bumi yang dengan mudah dapat membawa atau menghantar air disebut lapisan pembawa air, pengantar air atau akufir, yang biasanya dapat merupakan penghantar yang baik yaitu lapisan pasir dan kerikil, atau di daerah tertentu, lava dan batu gampil.
Penyembuhan atau pengisian kembali air yang ada dalam tanah itu berlangsung akibat curah hujan, yang sebagian meresap kedalam tanah, bergantung pada jenis tanah dan batuan yang mengalasi suatu daerah curah hujan meresap kedalam bumi dalam jumlah besar atau kecil, ada tanah yang jarang dan ada tanah yang kedap. Kesarangan (porositip) tidak lain ialah jumlah ruang kosong dalam bahan tanah atau batuan, biasanya dinyatakannya dalam persen. bahan yang dengan mudah dapat dilalaui air disebut lulus. Kelulusan tanah atau batuan merupakan ukuran mudah atau tidaknya bahan itu dilalui air. Pasir misalnya, adalah bahan yang lulus air melewati pasir kasar dengan kecepatan antara 10 dan 100 sihosinya. Dalam lempeng, angka ini lebih kecil, tetapi dalam kerikil lebih besar.


Sumber : Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Selasa, 29 Desember 2009

DIGESTER AEROB


Oleh Gede H. Cahyana

Digester aerob (aerobic digester) adalah unit proses yang difokuskan pada pengolahan lumpur biologis (bioflok) yang berasal dari IPAL dan berlangsung secara aerob. Selain itu, digester (baik aerob maupun anerob) ini pun dikelompokkan ke dalam satu paket pengolah lumpur dengan Imhoff tank (MAM, edisi 114, Februari 2005). Perlu pula disampaikan, ada perbedaan pendapat dalam mengelompokan jenis-jenis digester, misalnya ada yang menyatakan bahwa digester pastilah (hanya) anaerob.

Telah berlaku umum, pengolahan zat organik terlarut di dalam air limbah secara aerob selalu menghasilkan mikroba, biomassa atau lumpur (sludge) yang sering disebut lumpur sekunder (secondary sludge). Seperti disebut dalam artikel sebelumnya, sludge yang dihasilkan harus diolah di fasilitas pengolah lumpur seperti sludge drying bed, filter press atau diolah dengan menggunakan digester aerob.

Karakteristik
Satu karakteristik utama yang membedakan lumpur dari IPAM PDAM dan lumpur dari IPAL PDAK (Perusahaan Daerah Air Kotor) adalah jenisnya. Lumpur hasil olahan prasedimentasi dan sedimentasi dari IPAM lebih banyak berupa komponen anorganik. Adapun lumpur primer (primary sludge) di IPAL selain mengandung zat organik terlarut juga mengandung atau bahkan mayoritas terdiri atas zat organik tak terlarut (insoluble) yang besar berat molekulnya.

Tujuan pengolahan dengan digester aerob adalah meniadakan zat organik tak terlarut dalam kondisi aerob yang bisa dilaksanakan di dalam tiga kondisi reaktor, yaitu reaktor teraduk sempurna (CSTR, completely stirred tank reactor) tanpa dan dengan resirkulasi dan reaktor batch. Sistem batch jarang diterapkan di lapangan tetapi sering digunakan untuk menentukan data desain di laboratorium. Kinerja CSTR tanpa resirkulasi relatif sama dengan kinerja CSTR dengan resirkulasi sehingga yang lebih banyak diterapkan adalah CSTR tanpa resirkulasi karena lebih ekonomis.

Digester aerob ini tampak atasnya berbentuk lingkaran dengan kedalaman maksimum 5 m. Pengadukan di dalam reaktor diasumsikan sempurna yang transfer oksigennya berasal dari aerator. Udara bebas juga dapat dijadikan sumber oksigen dengan cara membuka bagian atas reaktornya. Bisa juga oksigennya berupa oksigen murni sehingga bagian atas reaktornya ditutup. Pengoperasian instalasi kecil biasanya dilakukan dengan sistem batch, sedangkan di instalasi besar dilakukan dengan sistem kontinu sehingga diperlukan unit sedimentasi untuk mengendapkan sludge yang diolah.

Keunggulan
Digester aerob digunakan untuk mengolah lumpur sekunder yang dihasilkan dari proses lumpur aktif atau trickling filter yang banyak mengandung biosolid dengan reaksi dekomposisi mikrobiologi. Proses ini dapat digunakan untuk mengolah lumpur primer dengan syarat kandungan organiknya di atas 60% tetapi sebetulnya lebih ekonomis jika diolah dengan digester anaerob. Ini dilakukan karena kehadiran sejumlah besar zat organik non-mikrobial yang akan diubah menjadi biomassa sehingga membutuhkan banyak oksigen pada proses aerob dan membentuk lebih banyak sisa lumpur dibandingkan dengan digester anaerob.

Di bawah ini adalah sejumlah keutamaan digester aerob:
1. Produk akhir olahannya relatif stabil, seperti humus, tidak bau, mudah dibuang.
2. Kadar zat organik terlarut biodegradable sangat sedikit di dalam supernatan.
3. Karakteristik pengeringan lumpurnya cukup baik.
4. Biaya konstruksinya lebih murah dibandingkan dengan proses anaerob.
5. Jika yang diolah lumpur sekunder, maka efisiensi reduksi zat organik hampir sama dengan proses digester anaerob.
6. Lebih subur (pupuknya) jika dibandingkan dengan digester anaerob.
7. Konsentrasi limbahnya lebih kecil sehingga tidak perlu sludge thickening.
8. Reaktornya sederhana sehingga relatif lebih murah daripada digester anaerob.
9. Kesulitan operasinya sedikit daripada digester anaerob sehingga tenaga kerjanya boleh yang kurang terlatih.


Selain keunggulannya tersebut, ada beberapa kelemahan digester aerob:
1. Perlu energi untuk memasok oksigen sehingga biaya operasi-rawatnya lebih mahal daripada digester anaerob.
2. Reaktor tidak menghasilkan energi biogas karena tidak terbentuk metana.
3. Sludge hasil olahan tidak selalu terklarifikasi dengan baik sehingga supernatannya mungkin masih mengandung padatan tersuspensi (SS, suspended solid).
4. Jika digunakan untuk mengolah lumpur primer maka lebih banyak dihasilkan sisa sludge daripada digester anaerob.
5. Efisiensi bervariasi karena bergantung pada temperatur sehingga perlu ada kendali temperatur.

Kinerja Operasi
Hakikat digester aerob untuk lumpur sekunder adalah CSTR yang hanya menerima sel mikroba (bioflok). Karena zat organik biodegradable terlarut (soluble) di influennya sangat sedikit maka reaksi yang terjadi hanyalah celluler death dan decay (kematian dan kerusakan sel mikroba). Kerusakan sel dapat dinyatakan dengan reaksi orde pertama sehingga konsentrasi sel di dalam reaktor akan berkurang jika waktu detensi hidrolisnya bertambah.

Kinerja digester ini bergantung pada (minimal) tiga hal dan ketiganya perlu ditetapkan lebih dulu dalam mendesain digester, yaitu volume reaktor, kebutuhan oksigen, dan power input. Ketiga hal tersebut ialah:

1. Model matematis
Model ini digunakan untuk menghitung kebutuhan volume reaktor yang juga berkorelasi dengan luas lahan yang diperlukan. Pada mulanya volume reaktor dihitung dengan cara volumetric loading (massa VSS per volume harian; VSS: volatile suspended solid) tetapi dengan perkembangan kinetika proses digunakanlah rekayasa reaktor, yaitu kombinasi antara persamaan laju reaksi dan neraca massa.

2. Nilai parameter
Persamaan-persamaan desain dapat digunakan jika nilai-nilai parameter atau konstanta laju reaksi dan kebutuhan oksigennya sudah diketahui. Semua parameternya ditentukan dengan uji di laboratorium dan diharapkan sama dengan kondisinya pada skala pilot maupun skala penuh (lapangan).

3. Pengaruh kondisi lingkungan.
a. Mixing
Jika pengadukannya tidak cukup maka akan terjadi pengendapan di dalam reaktor sehingga mengurangi volume efektifnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya kondisi anaerob. Pengurangan volume dan kondisi anaerob tersebut dapat mengurangi efisiensi proses pengolahan.

b. Temperatur
Seperti pada teknologi pengolahan air limbah, pengolahan lumpur secara bioproses pun sangat bergantung pada temperatur karena melibatkan mikroba dalam pengolahannya.

c. pH
Sejumlah konstanta laju reaksi bergantung pada pH. Ada studi yang menyatakan bahwa hasil optimal pengolahan terjadi pada pH 6,5 - 8,0. Perubahan pH dapat terjadi selama proses digesi akibat nitrifikasi yang besarnya bergantung pada konsentrasi nitrogen organik dan alkalinitas di dalam sludge.

Ketiga poin yang diperlukan dalam mendesain digester aerob tersebut tidak serta merta mudah dalam penerapannya. Digester aerob masih jarang diterapkan. Sebagian besar literatur tentang digester aerob hanya menguraikan studi laboratorium dan skala pilot. Hanya sedikit yang datanya berasal dari instalasi yang fullscale. Sekadar contoh, ada instalasi digester aerob di Canada, terdiri atas tujuh unit dan bersifat CSTR dengan modus operasi fill-and-draw atau SBR (SBR: Sequencing Batch Reactor, MAM edisi 134, Oktober 2006). Waktu detensi hidrolisnya cukup panjang, yaitu 14 s.d 360 hari dengan kecepatan injeksi udara antara 8,4 s.d 30 cfm/1000 ft3 dan konsentrasi lumpur 20.000 mg/l. Masalahnya, terjadi pengendapan lumpur sehingga volume efektifnya berkurang dan menurunkan efisiensinya.

Terlepas dari kekurangan itu, ada yang menyatakan bahwa digester aerob dapat mengolah lumpur sekunder hingga konsentrasi 60.000 mg/l. Betul ataukah tidak, sebagai hasil perkembangan teknologi di bidang pengolahan lumpur, digester aerob dapat diapresiasi sebagai alternatif untuk stabilisasi lumpur biologi yang menjadi konsekuensi logis dalam pengoperasian IPAL. *

Senin, 30 November 2009

WATEC 2009


Pemananasan global yang semakin mencekam belakangan ini, ditingkahi oleh krisis ekonomi dunia, mendorong perhatian yang lebih besar bagi tokoh, praktisi maupun ilmuan untuk ambil bagian dalam Water Environment and Energy Exhibition and Conference (WATEC'09) yang berlangsung pada 17-19 November 2009 di Tel Aviv, Israel.

Konferensi tersebut bertema "Krisis Sebagai Katalisator Mencapai Ekonomi Berkelanjutan". Tema itu sangat berkaitan dengan krisis air dan energi dunia dan pembangunan berkelanjutan.

Ketua penyelenggara konferensi itu, Booky Oren mengatakan, tekanan-tekanan ekonomi telah memicu krisis dunia usaha sejak tahun 2007. Dalam perkembangannya, solusi air dan energi diyakini sebagai suatu kunci penting untuk menstabilkan perekonomian dan mendorong pertumbuhan.

Dalam pada itu, krisis air yang disebabkan perubahan iklim mendorong banyak pemerintahan di dunia dan para industriawan melancarkan investasi sebagai solusi untuk meningkatkan produksi air dan efisiensi sambil mengupayakan ketersediaan air yang cukup diimbangi penyediaan dana yang cukup pula.

Sementara itu, walaupun dunia masih dilanda krisis ekonomi, lebih separuh industriawan air minum israel yakin penjualan mereka bertumbuh selama tahun 2009. Ada permintaan kepada perusahaan-perusahaan untuk memamerkan teknologi murah yang sangat berdampak pada penghematan air dalam jumlah yang berarti, teknologi yang meminimalkan air limbah, yang kesemuanya hemat energi untuk mendorong permintaan terhadap teknologi-teknologi itu.

"Efisiensi merupakan kebutuhan yang sangat menentukan, dan Israel merupakan pusat inovasi dunia di bidang ini," ujar Oren. Maka katanya, sangat beralasan bila ia berharap, perhatian pada konferensi dan pameran itu akan memecahkan rekor.

Pada tahun 2006 pemerintah memutuskan untuk menjadikan Israel sebagai "Lembah Silikon" global di bidang air untuk mendedikasikan keahlian dan inovasi-Inovasi teknis yang didapatkan selama hampir 60 tahun berkat adanya tantangan-tantangan berat di bidang air.

Israel memang pantas mendapatkan keahlian dan teknologi yang sangat berarti di bidang efisiensi dan produksi air minum. "Sebagai sebuah bangsa yang penduduknya telah meningkat tujuh kali lipat sejak tahun 1948, kami memang harus mengatasi berbagai tantangan agar kami dapat memenuhi kebutuhan akan air yang terus meningkat."

"Kami mengembangkan sistem irigasi tetesan demi tuntutan efisiensi yang semakin meningkat untuk pengairan pertanian. Kami juga membangun sistem desalinasi reverse osmosis (RO) terbesar di dunia di Ashkelon. Sekitar 75% dari air bekas pakai diolah kembali untuk keperluan pertanian. Kami terus meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya air kami. Dan pada WATEC 2007 kami dapati bahwa bukan hanya kami saja yang berpendapat bahwa Israel memiliki banyak hal yang patut ditawar kepada bangsa-bangsa lain," kata Oren.

Ada ribuan pengunjung, baik dari Israel sendiri maupun dari luar negeri, termasuk utusan dari industri air minum terkemuka di dunia yang hadir pada WATEC 07.

Peningkatan efisiensi itu sendiri memerlukan penekanan pada teknologi. Maka menurut penyelenggara, WATEC 09 lebih berfokus pada pengembangan inovasi penggunaan yang efektif dan konservasi di samping saling berbagi teknologi, tindakan-tindakan mengatasi kekeringan, daur ulang air limbah, dan pilihan-pilihan lain atas sistem energi dan air.

Sumber : Majalah Air Minum Edisi 169 Oktober 2009.

Sabtu, 31 Oktober 2009

SUNGAI TERCEMAR


Sejumlah sungai yang mengalir di Provinsi Banten tercemar. Beberapa faktor penyebabnya antara lain limbah industri, kegiatan pertambangan, dan sedimentasi yang memperkeruh air sungai. Pencemaran itu berdampak pada menurunnya kualitas air sungai.

Kepala Subbidang Pengolahan Limbah Domestik, Bahan Beracun dan Berbahaya (B3), dan Limbah B3 Badan Lingkungan Hidup daerah Provinsi Banten Sukarno di Serang, Selasa 20/10/2009, menuturkan, sungai-sungai yang tercemar itu antara lain Sungai Ciliman, Cirarap, Cidurian, Cimanceri, Ciujung, Cibanten, Cidanau, Ciujung Kulon, Cibaliung, Ciberang, dan Cisadane.

“Akibat pencemaran, kualitas air sungai yang tercemar itu sudah tidak memenuhi baku mutu untuk air minum, pertanian, dan industri. Harus ada perlakuan khusus sebelum (air) digunakan, Seperti pemrosesan untuk menghilangkan zat kimia, pengendapan, atau menggunakan tawas,' kata Sukarno.

Penyebab pencemaran suatu alur sungai berbeda-beda bergantung pada karakteristik wilayah. Di Tangerang, misalnya, kebanyakan pencemaran akibat industri, sementara di Serang dan Pandeglang antara lain disebabkan industri dan aktivitas penggalian yang mengakibatkan sedimentasi tinggi.

Berdasarkan hasil pantauan dan analisis Balai Pengelola Sumber daya Air Provinsi Banten selama lima tahun (2004-2009), kualitas air sungai Cisadane tercemar limbah domestik, industri pertanian, fluktuasi aliran sungai, erosi dan sedimentasi.

Gangguan kualitas air tersebut juga terjadi di sungai Ciujung dan Cidurian. Parameter pencemar yang muncul di semua titik pantau sungai Cisadane, Ciujung, dan Cidurian adalah E-coli, total coli, dan nitrit. Ada pula parameter pencemar yang muncul di beberapa titik pantau, antara lain oksigen terlarut, timbal, dan kadmium.

Menurut Sukarno, upaya yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas air sungai antara lain dengan menyiapkan peraturan daerah (perda) yang akan mengatur pembatasan pembuangan debit dan kadar parameter buangan yang bisa dibuang ke sungai. Perda ini diharapkan bisa tuntas pada tahun 2010.

Perda itu diperlukan karena Banten memiliki banyak sungai. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang merujuk pada data Dinas Kelautan dan Perikanan Banten, jumlah sungai yang mengalir di Kabupaten Pandeglang ada 77 sungai, Tangerang 1 sungai ,dan Serang 9 sungai.

Sukarno menuturkan upaya mengurangi pencemaran dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Untuk mengurangi sedimentasi akibat kerusakan hutan, misalnya, kerja sama dilakukan dengan dinas pertanian.

“Kami juga melakukan pembinaan bagi industri-industri agar memerhatikan kualitas lingkungan,” kata Sukarno. Dari 1600-an industri di Banten, baru sekitar 50 industri yang mengikutkan perusahaannya dalam pengujian tingkat pencemaran.

Disalin dari Harian KOMPAS, edisi Rabu 21 Oktober 2009