Sungai Bengawan Solo telah menyokong kehidupan purba dan menghidupkan peradaban masa kini, yang menyisakan sepenggal misteri. Ia menjadi saksi bisu atas kemampuan alam melakukan modifikasi geografi, dengan mengubah arah aliran dari kawasan selatan menjadi utara tanah Jawa. Jutaan tahun lalu, Samudra Hindia menjadi akhir bengawan yang memiliki asal kata dari Desa Sala, namun berubah ke Selat Madura dan akhirnya kini disudet ke Laut Jawa. Perubahan ini menentukan takdir peradaban yang berkembang kemudian. Bagaikan nadi yang mengalirkan sumber utama kehidujpan, Bengawan Solo telah membuat jutaan manusia menggantungkan harapan. Ia menjadi bagian yang tak terpisahkan, meski saat ini telah mengalami krisis kehidupan. Romantika masa lalu yang rupawan terkoyak akibat pengurusan yang salah. Akankah sungai yang menjadi sumber daya kunci populasi dari 12 kabupaten / kota di Jawa Tengah dan Timur ini mampu membalikkan keadaan yang tak menguntungkan tadi ?
Kita pun seharusnya setuju bahwa bengawan yang mengalir sepanjang 540 kilometer ini membutuhkan perawatan sepanjang waktu. Kini, ganjaran itu telah datang akibat ketidakmauan dan ketidakpedulian manusia akan lingkungannya sendiri. Lihat saja, di bagian hulu. Meski tak sampai kekeringan, para pemukim yang berada di dekat sumber kehidupan di mana sungai ini berawal mengakui bahwa pada musim kemarau, aliran air yang menuju Kali Tengger dan Muning menyurut. Kedua sungai kecil inilah yang bersatu dan membentuk aliran besar, Bengawan Solo. Hal yang sebaliknya justru terjadi. Bengawan SAolo yang yang mengalir tenang, di puncak musim penghujan meluapkan air di sepanjang bengawan. Salah satu sebabnya adalah waduk yang dibangun untuk menampung aliran tak sanggup menjalankan fungsinya. Para insinyur telah merancang Bendungan Serbaguna Wonogiri, yang lebih dikenal Waduk Gajah Mungkur, berumur 100 tahun sejak masa operasi pertama pada tahun 1982. Namun, umur itu harus memendek, menjadi 25 tahun saja. Penyebabnya, laju sedimentasi sungai yang kini mencapai 8 milimeter pertahun, jauh di atas asumsi laju sedimentasi maksimal sebesar 2 milimeter per tahun. Ini lagi-lagi disebabkan oleh ulah manusia, mulai dari menggunduli hutan hingga mengonversi lahan hulu.
Bengawan juga menjalankan fungsi sosialnya. Bagi sejumlah orang yang bermukim di tepiannya, bengawan menjadi tempat suci untuk memperingati sebuah ritual masa silam. Di dekat jembatan di Kota Solo, Gesang menuliskan keindahan sungai itu melalui gubahan lagu keroncong, yang popularitasnya mengalir hingga jauh. Sebagian lainnya memanfaatkan aliran air untuk menyirami komoditas pertanian,yang berada di wilayah bantaran. Ketika fajar merekah, bengawan menyambut para ibu yang memulai kehidupan dengan melakukan aktivitas ekonomi. Sedikit lebih siang, generasi muda menyeberangi lebar sungai untuk pergi kesekolah. di tepian lainnya, berjarak 150 meter dari bengawan, di wilayah tengah, kita dapat menjumpai gelaran tradisional : tayuban. Di Dusun Mbungkul, Desa Sumber Rejo, salah satu Desa di Kecamatan Margomulyo, yang termasuk wilayah Kabupaten Bojonegoro, warga desa terutama kaum lelaki paro baya telah menantikan tarian ini digelar di bawah beringin tua yang rindang dan dikelilingi permadani alami yang menghijau. Tari ini menandai puncak acara ritual membersihkan mata air, tak ubahnya di bagian hulu.
Syukur atas sumber kehidupan itu tak lagi menular pada masa kini, yang ditandai dengan sejumlah perubahan : erosi, sampah dan limbah. Para pihak yang bermukim jauh dari tepian alpa memelihara bengawan. Erosi pun telah memindahkan pondok pesantren Langitan yang berada di wilayah Kota Tuban, Jawa Timur. Pondok para santri yang dibangun KH Muhammad Nur pada 1852 itu harus bergeser, jauh dari tempatnya semula didirikan. Perubahan lokasi pondok terjadi saat pondok berumur 99 tahun, yaitu tahun 1951.
Riwayat peradaban yang membentang di sisi bengawan masih menunggu untuk disingkap. Bagaimanapun, tanpa upaya pelestarian yang terpadu oleh para pemangku kepentingan, nadi kehidupan yang seharusnya menyokong peradaban justru akan menaburkan bencana. Akankah kita tetap berpangku tangan ?
Kita pun seharusnya setuju bahwa bengawan yang mengalir sepanjang 540 kilometer ini membutuhkan perawatan sepanjang waktu. Kini, ganjaran itu telah datang akibat ketidakmauan dan ketidakpedulian manusia akan lingkungannya sendiri. Lihat saja, di bagian hulu. Meski tak sampai kekeringan, para pemukim yang berada di dekat sumber kehidupan di mana sungai ini berawal mengakui bahwa pada musim kemarau, aliran air yang menuju Kali Tengger dan Muning menyurut. Kedua sungai kecil inilah yang bersatu dan membentuk aliran besar, Bengawan Solo. Hal yang sebaliknya justru terjadi. Bengawan SAolo yang yang mengalir tenang, di puncak musim penghujan meluapkan air di sepanjang bengawan. Salah satu sebabnya adalah waduk yang dibangun untuk menampung aliran tak sanggup menjalankan fungsinya. Para insinyur telah merancang Bendungan Serbaguna Wonogiri, yang lebih dikenal Waduk Gajah Mungkur, berumur 100 tahun sejak masa operasi pertama pada tahun 1982. Namun, umur itu harus memendek, menjadi 25 tahun saja. Penyebabnya, laju sedimentasi sungai yang kini mencapai 8 milimeter pertahun, jauh di atas asumsi laju sedimentasi maksimal sebesar 2 milimeter per tahun. Ini lagi-lagi disebabkan oleh ulah manusia, mulai dari menggunduli hutan hingga mengonversi lahan hulu.
Bengawan juga menjalankan fungsi sosialnya. Bagi sejumlah orang yang bermukim di tepiannya, bengawan menjadi tempat suci untuk memperingati sebuah ritual masa silam. Di dekat jembatan di Kota Solo, Gesang menuliskan keindahan sungai itu melalui gubahan lagu keroncong, yang popularitasnya mengalir hingga jauh. Sebagian lainnya memanfaatkan aliran air untuk menyirami komoditas pertanian,yang berada di wilayah bantaran. Ketika fajar merekah, bengawan menyambut para ibu yang memulai kehidupan dengan melakukan aktivitas ekonomi. Sedikit lebih siang, generasi muda menyeberangi lebar sungai untuk pergi kesekolah. di tepian lainnya, berjarak 150 meter dari bengawan, di wilayah tengah, kita dapat menjumpai gelaran tradisional : tayuban. Di Dusun Mbungkul, Desa Sumber Rejo, salah satu Desa di Kecamatan Margomulyo, yang termasuk wilayah Kabupaten Bojonegoro, warga desa terutama kaum lelaki paro baya telah menantikan tarian ini digelar di bawah beringin tua yang rindang dan dikelilingi permadani alami yang menghijau. Tari ini menandai puncak acara ritual membersihkan mata air, tak ubahnya di bagian hulu.
Syukur atas sumber kehidupan itu tak lagi menular pada masa kini, yang ditandai dengan sejumlah perubahan : erosi, sampah dan limbah. Para pihak yang bermukim jauh dari tepian alpa memelihara bengawan. Erosi pun telah memindahkan pondok pesantren Langitan yang berada di wilayah Kota Tuban, Jawa Timur. Pondok para santri yang dibangun KH Muhammad Nur pada 1852 itu harus bergeser, jauh dari tempatnya semula didirikan. Perubahan lokasi pondok terjadi saat pondok berumur 99 tahun, yaitu tahun 1951.
Riwayat peradaban yang membentang di sisi bengawan masih menunggu untuk disingkap. Bagaimanapun, tanpa upaya pelestarian yang terpadu oleh para pemangku kepentingan, nadi kehidupan yang seharusnya menyokong peradaban justru akan menaburkan bencana. Akankah kita tetap berpangku tangan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar