Rabu, 28 April 2010

PERBURUAN AIR DI GUNUNGKIDUL


Oleh : Zaki Habibi

Sungai menderas di utara. Di selatan, air melaju nun jauh di bawah tanah. Di atasnya hiduplah masyarakat yang berburu air sepanjang tahun.

Di suatu pagi yang temaram, sekelompok lelaki tanah kapur berjalan beriringan memasuki sebuah mulut gua. Beberapa memanggul jeriken plastik atau kaleng. Yang lainnya menggenggam erat obor yang menyala. Mereka hendak memburu air. Di dalam kegelapan relung-relung perut bumi yang lembab, obor adalah pelita, juga menanda cukup tidaknya udara segar. Bila dian telah padam, berarti oksigen telah menipis dalam ruang yang mereka pijak dan itu artinya mereka harus berbalik pulang ke rumah dengan atau tanpa air. Keseharian manusia tanah kapur Gunungkidul memang penuh dengan perjuangan mencari air bagi kehidupan sehari-hari sejak dulu.

Tanah Gunungkidul selatan yang gamping memaksa warga memeras keringat demi air bersih. Di wilayah tersebut, Tanah tak pernah membiarkan air hujan lama menggenang. Air hanya mengalir di perut bumi dan bisa ditemukan dengan menuruni lorong-lorong gua. “Ada yang cukup ditelusuri dengan jalan kaki melalui gua horisontal dan tidak terlalu dalam. Ada yang terletak di kedalaman 100 meter lebih dari permukaan luweng atau liang vertikal,” papar Sintia Windhi, ahli Geofisika Universitas Gajah Mada yang juga seorang penelusur gua.

Gunungkidul selatan merupakan kawasan perbukitan karst, bagian dari Pegunungan Karst Gunungsewu yang membujur di selatan Jawa. Menurut Sintia, dahulu wilayah selatan Gunungkidul adalah dasar laut yang kedalamannya berkisar hingga 200 meter. Butuh proses yang memakan waktu 15 juta tahun bagi dasar laut yang dipenuhi terumbu karang itu untuk terangkat ke atas laut, menjadi batu, tenggelam kembali di bawah permukaan air (pada masa ini terumbu karang tumbuh kembali), kemudian terangkat kembali ke permukaan sehingga kini akhirnya didiami oleh penduduk. Alhasil, kawasan Gunungkidul selatan tersusun atas lapisan karang yang terbatukan menjadi gamping.

Ahli hidrologi karst UGM Tjahyo Nugroho Adji menambahkan, epikarst (bagian paling atas dari wilayah karst, berupa bukit berbentuk kerucut) memiliki fungsi paling vital dalam penyediaan air. Lapisan yang memiliki ketebalan maksimal lima meter itu terbentuk dari gamping yang lapuk dan terlarut jadi lapisan tanah. Inilah bagian terbesar yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan air hujan yang jatuh dikawasan Gunungkidul selatan.

“Namun, air yang ada di lapisan ini tidak bisa diambil karena masih tercampur dengan udara dan tanah. Air baru bisa digunakan jika sudah mengalir menjadi sungai bawah tanah. Jadi jika kawasan epikarst tidak dikonservasi, maka debit air di sungai bawah tanah berkurang pula,” paparnya.

Nasib sejarah bumi itulah yang membuat Gunungkidul selatan tidak seelok Gunungkidul utara yang berupa perbukitan tanah vulkanis tua, dikenal sebagai daerah Perbukitan Baturagung. Daerah ini memiliki sifat tanah yang tipis dengan batuan yang beku, keras dan sulit menyimpan air. Saat tercurah dari langit, airpun akan langsung mengalir membentuk sungai dibagian permukaan lanskap tanahnya.

Sehingga, meski terletak jauh dari sungai, warga di sejumlah pedusunan masih tetap bisa mengalirkan air kali dengan pipa-pipa bambu atau PVC yang sambung menyambung hingga sepanjang 2,5 kilometer. Praktik itu misalnya dapat dilihat di dusun Ngamplar, Kecamatan Patuk, Gunungkidul utara.

Tetangga di wilayah Gunungkidul tengah juga memiliki nasib lebih baik Pada zaman Miosen, saat wilayah selatan terangkat, bagian tengah mengalami tekanan hingga membentuk cekungan. Saat itu, sungai bawah tanah di wilayah selatan belum terbentuk sehingga aliran air dari pegunungan karst di bagian timur dan timur laut mengalir ke cekungan ini sambil membawa rombakan batuan gamping dan mengendapkannya. Lama kelamaan endapan berubah menjadi tanah tebal sehingga cekungan itu menjadi pusat kehidupan yang kaya air.

Hingga kini, masyarakat di wilayah Gunungkidul tengah mampu menemukan air melimpah dari sumur dangkal berkedalaman 5 hingga 12 meter yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga untuk bercocok tanam sepanjang tahun.

Di selatan saat musim penghujan, masyarakat berusaha memanen hujan dengan menggunakan bak penampungan. Saat kemarau mendera, berbagai bentuk perburuan air pun dimulai. Dengan berjalan kaki ataupun bersepeda motor, warga tanah kapur akan pergi mencari gua tempat mengalirnya sungai-sungai bawah tanah, sumur dalam yang masih basah, atau kubangan yang tetap menyisakan air.

Beruntung, sebagian dari mereka—terutama di permukiman yang teramat jauh dari sumber air—kini dapat mengandalkan truk-truk tangki bantuan pemerintah atau organisasi nirlaba yang berkunjung ke permukiman mereka. Hanya saja, warga tetap harus merogoh kantong sebanyak 20 rupiah untuk seliter air, sementara kebutuhan rata-rata satu keluarga sepanjang musim kemarau adalah sekitar 5.000 liter. Itulah masa perjuangan bagi warga yang mayoritas petani dan hanya bisa membuat gaplek ketela seharga 800 rupiah per kilogram di musim kemarau.

Saat kemarau, sesungguhnya air dapat ditemukan di sejumlah telaga, yaitu cekungan di kawasan karst yang mampu menyimpan air hujan dalam waktu relatif lama. Menurut ahli hidrologi karst UGM Tjahyo Nugroho Adji, dasar telaga di kawasan karst Gunungkidul selalu memiliki ponor (sink hole) atau liang yang terhubung dengan sistem aliran sungai bawah tanah. Telaga-telaga itu selalu menyediakan air karena terdapat lapisan lempung di atas ponor. “Lempung membuat air tetap tertahan di telaga,” tutur Tjahyo.
Kurun 1970-an dan 1980-an, warga sempat menyaksikan beberapa telaga kehidupan mereka terancam kerontang. Para peneliti mengisahkan, saat itu pemerintah berinisiatif mengeruk dasar telaga dan melapis dinding telaga dengan semen dengan harapan, air di dalam akan semakin banyak. Celaka, air di telaga-telaga tersebut justru terus menyusut dan mengering. Rupanya, pengerukan membuat lapisan lempung yang menahan air di permukaan ikut terbuang sehingga, berapapun air hujan yang tertampung akan langsung tersedot ke dalam tanah.

Kini, harapan besar terhadap teknologi terletak pada proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Bribin II yang melibatkan berbagai pihak dari Indonesia dan Jerman. Proyek yang dimulai oleh Universitas Karlsruhe Jerman itu memanfaatkan aliran sungai bawah Luweng Sindon di Bribin. Di kedalaman 104 meter, sebuah bendungan dibangun untuk menghasilkan energi listrik yang kemudian dimanfaatkan untuk memompa air tanah ke atas permukaan.

Meski harapan besar ditumpukan, teknologi Bribin II ternyata bukanlah solusi tunggal. Pasalnya, satu proyek tak bisa menjawab persoalan distribusi air bagi seluruh warga Gunungkidul yang jumlahnya 685.210 jiwa dan tersebar di wilayah seluas 1.485,36 kilometer persegi. “Bribin II adalah upaya pertama di dunia yang memanfaatkan teknologi mikrohidro di sungai bawah tanah. Sebagai sebuah riset ini sangat bagus,” jelas Tjahyo.
Tjahyo dan Sintia berhitung, sejatinya Gunungkidul memiliki potensi air nan berlimpah di musim hujan dan musim kemarau. “Sumber utama berasal dari hujan dan curah hujan di Gunungkidul tergolong tinggi. Jadi, air sebenarnya sangat memadai,” imbuh Tjahyo. Namun, air berlimpah yang selalu disimpan dalam perut Bumi itu hingga kini terus memaksa warga berpeluh dalam mengambilnya.


Disalin dari Majalah National Geograpic Indonesia edisi April 2010